Home » » PENGERTIAN HAJI

PENGERTIAN HAJI


Haji (Bahasa Arab: حج‎; transliterasi: Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Definisi
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
Tempat bersejarah
Berikut ini adalah tempat-tempat bersejarah, yang meskipun bukan rukun haji, namum biasa dikunjungi oleh para jemaah haji atau peziarah lainnya[4]:
Jabal Nur dan Gua Hira
Jabal Nur terletak kurang lebih 6 km di sebelah utara Masjidil Haram. Di puncaknya terdapat sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Di gua inilah Nabi Muhammad saw menerima wahyu yang pertama, yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Jabal Tsur
Jabal Tsur terletak kurang lebih 6 km di sebelah selatan Masjidil Haram. Untuk mencapai Gua Tsur ini memerlukan perjalanan mendaki selama 1.5 jam. Di gunung inilah Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar As-Siddiq bersembunyi dari kepungan orang Quraisy ketika hendak hijrah ke Madinah.
Jabal Rahmah
Yaitu tempat bertemunya Nabi Adam as dan Hawa setelah keduanya terpisah saat turun dari surga. Peristiwa pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw, yaitu surat Al-Maidah ayat 3.
Jabal Uhud
Letaknya kurang lebih 5 km dari pusat kota Madinah. Di bukit inilah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Mekah. Dalam pertempuran tersebut gugur 70 orang syuhada di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw. Kecintaan Rasulullah saw pada para syuhada Uhud, membuat beliau selalu menziarahinya hampir setiap tahun. Untuk itu, Jabal Uhud menjadi salah satu tempat penting untuk diziarahi.
Makam Baqi'
Baqi' adalah tanah kuburan untuk penduduk sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Jamaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di Baqi', letaknya di sebelah timur dari Masjid Nabawi. Di sinilah makam Utsman bin Affan ra, para istri Nabi, putra dan putrinya, dan para sahabat dimakamkan. Ada banyak perbedaan makam seperti di tanah suci ini dengan makam yang ada di Indonesia, terutama dalam hal peletakan batu nisan.
Masjid Qiblatain
Pada masa permulaan Islam, kaum muslimin melakukan salat dengan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina. Pada tahun ke-2 H bulan Rajab pada saat Nabi Muhammad saw melakukan salat Zuhur di masjid ini, tiba-tiba turun wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan agar kiblat salat diubah ke arah Kabah Masjidil Haram, Mekah. Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka akhirnya masjid ini diberi nama Masjid Qiblatain yang berarti masjid berkiblat dua.

Sejarah Haji

Haji secara bahasa berarti menuju ke suatu tempat. Namun secara syariat mengacu pada ziarah tahunan umat Islam ke Mekah dengan maksud tertentu untuk melakukan ritual keagamaan diwaktu tertentu pula sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Haji pertama kali disyariatkan oleh Allah pada masa Nabi lbrahim a.s. dan ia adalah Nabi yang dipercaya oleh Allah untuk membangun Ka’bah bersama dengan anaknya Ismail di Mekah. Allah menggambarkan Ka’bah sebagai berikut: “Dan ingatlah ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat mereka yang ruku’ dan sujud.” (Al-Hajj :26)
Setelah membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim datang ke Mekah untuk melakukan ibadah haji setiap tahun, dan setelah kematiannya, praktik ini dilanjutkan oleh anaknya. Namun, secara bertahap dengan berlalunya waktu, baik bentuk dan tujuan ritual haji berubah sebagai penyembahan berhala yang tersebar di seluruh Arabia, Ka’bah kehilangan kemurnian dan berhala ditempatkan di dalamnya. Dindingnya penuh dengan puisi dan lukisan, dan akhirnya lebih dari 360 berhala ditempatkan di sekitar Ka’bah.
Selama periode haji itu sendiri, suasana di sekitar rumah suci (Ka’bah) layaknya seperti sirkus. Laki-laki dan perempuan mengelilingi Ka’bah dengan telanjang, dengan alasan bahwa mereka harus menampilkan diri di hadapan Allah dalam kondisi yang sama seperti mereka lahir. Doa mereka menjadi bebas tak lagi tulus mengingat Allah, malah berubah menjadi serangkaian tepuk tangan, bersiul dan meniup tanduk, bahkan kalimat talbiah telah diselewengkan oleh mereka dengan tambahan-tambahan. Bahkan darah binatang yang dikurbankan dituangkan ke dinding Ka’bah dan dagingnya digantung di tiang sekitar Ka’bah, dengan keyakinan bahwa Allah menuntut daging dan darah hewan-hewan ini. Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dengan firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 37)
Bernyanyi, minum arak, perzinaan dan perbuatan amoral lainnya tersebar luas di antara para peziarah. Dan lomba puisi adalah bagian utama dari seluruh rangkaian haji. Dalam kompetisi ini, para penyair akan memuji keberanian dan kemegahan suku mereka masing-masing dan menceritakan cerita-cerita yang berlebihan, kepengecutan dan kekikiran suku-suku lainnya. Kompetisi dalam kemurahan hati juga diadakan di mana masing-masing kepala suku akan menyediakan kuali besar dan memberi makan para peziarah, hanya agar mereka bisa menjadi terkenal karena kemurahan hati mereka.
Dengan demikian mereka benar-benar meninggalkan ajaran nenek moyang dan pemimpin mereka Nabi Ibrahim a.s. Ajarannya yang suci untuk menyembah Allah semata, telah dinodai oleh orang-orang kafir dan ritual yang telah ditetapkan benar-benar terselewengkan oleh mereka. Keadaan menyedihkan itu berlangsung selama kurang lebih dua ribu tahun. Tapi kemudian setelah periode panjang ini, waktu datang untuk doa Nabi Ibrahim yang harus dijawab: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah :129)
Selama dua puluh tiga tahun, Nabi Muhammad menyebarkan pesan tauhid  – pesan yang sama bahwa Nabi Ibrahim dan semua Nabi pendahulunya datang dengan membawa dan mendirikan hukum Allah dimuka bumi. Nabi tidak hanya membersihkan Ka’bah dari segala kotoran, tapi juga mengembalikan semua ibadah haji yang dituntunkan oleh Allah di masa Nabi Ibrahim.
Terdapat perintah khusus dalam Al-Quran diturunkan dalam rangka menghilangkan semua upacara palsu yang telah merajalela di masa pra-Islam. Semua tindakan tidak senonoh dan memalukan itu sangat dilarang dalam pernyataan Allah SWT: “Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Al-Baqarah: 197). Wallahu al’lam bish showab.

Menengok Sejarah Perjalanan Haji Tempo Dahulu

Menunaikan ibadah haji wajib hukumnya, bahkan menjadi salah satu rukun Islam bagi madzhab Ahlussunnah dan sebagai kewajiban furu’uddin dalam madzhab Syi’ah. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan merupakan kewajiban terberat dalam Islam.
Orang yang melaksanakan ibadah haji ke tanah suci mengahdapi resiko yang tidak kecil, mulai dari kesengsaraan di perjalanan (khusus jemaah haji Indonesia kesengsaraan itu sudah terasa jauh hari sebelum keberangkatan), hingga ancaman kematian akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji saat melakukan ritual haji seperti pernah dialami beberapa tahun yang lalu akibatnya semrawutnya pelayanan haji yang diselenggaran sang “Khadimul Haramain”. Bahkan –lagi-lagi khusus untuk jemaah haji Indonesia- kelaparan.
Itu sekarang ketika semua sarana dan prasarana pelaksanaan jemaah haji sudah sangat modern. Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini.
Konon, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.
Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.
Sejak kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.
Prof. Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.
Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.
Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.
Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).
Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.
Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.
Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan –pada jaman itu- perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.
Sekarang perjalanan haji seharusnya tidak sesulit jaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang ingin menunaikannya.
Sumber: Kian Santang

Dari segi sejarah, ibadah haji ialah syariat yang dibawa oleh junjungan Nabi kita Muhammad S.A.W. sebagai membaharui dan menyambung ajaran Nabi Allah Ibrahim A.S. Ibadat haji mula diwajibkan ke atas umat Islam pada tahun ke-6 Hijrah, mengikut haul yang mashur iaitu dengan turunnya ayat 97 surah Al-Imran yang bermaksud :
" Dan Allah Taala mewajibkan manusia mengerjakan ibadat haji dengan mengunjungi Baitullah iaitu sesiapa yang mampu dan berkuasa sampai kepada-Nya dan sesiapa yang kufur dan ingkar kewajipan haji itu, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak berhajatkan sesuatu pun daripada sekelian makhluk".
Pada tahun tersebut Rasulullah S.A.W. bersama-sama lebih kurang 1500 orang telah berangkat ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji tetapi tidak dapat mengerjakannya kerana telah dihalang oleh kaum Quraisy sehinggalah mewujudkan satu perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiah.
Perjanjian itu membuka jalan bagi perkembangan Islam di mana pada tahun berikutnya ( Tahun ke-7 Hijrah ), Rasulullah telah mengerjakan Umrah bersama-sama 2000 orang umat Islam. Pada tahun ke-9 Hijrah barulah ibadat Haji dapat dikerjakan di mana Rasulullah S.A.W. mengarahkan Saidina Abu Bakar Al-Siddiq mengetuai 300 orang umat Islam mengerjakan haji.
RASULLULLAH S.A.W MENUNAIKAN HAJI
Nabi kita Muhammad S.A.W telah menunaikan fardhu haji sekali sahaja semasa hayatnya. Haji itu dinamakan "Hijjatul Wada'/ Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam atau Hijjatuttamam Wal Kamal kerana selepas haji itu tidak berapa lama kemudian baginda pun wafat. Baginda telah berangkat ke Madinatul Munawwarah pada hari Sabtu, 25 Zulkaedah tahun 10 Hijrah bersama isteri dan sahabat-sahabatnya seramai lebih 90,000 orang Islam.
Baginda telah menyempurnakan amalan-amalan sunat Ihram, memakai ihram dan berniat ihram di Zulhulaifah, sekarang dikenali dengan nama Bir Ali, 10 km daripada Madinah dan baginda sampai di Makkah pada 04 Zulhijjah setelah mengambil masa 9 hari dalam perjalanan. Baginda berangkat ke Mina pada 08 Zulhijjah dan bermalam di situ.
Kemudian ke Arafah untuk berwukuf pada 09 Zulhijjah yang jatuhnya pada hari Jumaat. Rasulullah S.A.W telah menyempurnakan semua rukun dan wajib haji hingga 13 Zulhijjah. Dan pada 14 Zulhijjah, Rasulullah S.A.W telah berangkat meninggalkan Makkah Al-Mukarramah menuju balik ke Madinah Al-Munawwarah.
PERISTIWA SEMASA HIJJATUL WADA'
Di masa wukuf terdapat beberapa peristiwa penting yang boleh dijadikan pegangan dan panduan umat Islam telah berlaku, di antara ialah seperti berikut :
  1. Rasulullah S.A.W minum susu di atas unta supaya dilihat oleh orang ramai bahawa hari itu tiada puasa atau tidak sunat berpuasa pada hari wukuf.
  2. Seorang Sahabat jatuh dari binatang tunganggannya lalu mati, Rasulullah S.A.W. menyuruh supaya mayat itu dikafankan dengan 2 kain ihram dan tidak membenarkan kepalanya ditutup atau diwangikan jasad dan kafannya. Sabda Baginda pada ketika itu bahawa " Sahabat itu akan dibangkitkan pada hari kiamat di dalam keadaan berihram dan bertalbiah".
  3. Rasulullah S.A.W. menjawab soalan seorang ahli Najdi yang bertanyakan " Apakah itu Haji ?". Sabdanya yang bermaksud " Haji itu berhenti di Arafah". Siapa tiba di Arafah sebelum naik fajar 10 Zulhijjah maka ia telah melaksanakan haji.
  4. Turunnya ayat suci Al-Quranul Karim surah Al-Maidah yang bermaksud :
" Pada hari ini aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan aku telah cukupkan nikmatku ke atas kamu dan aku telah redha Islam itu menjadi agama untuk kami"
Daripada sejarah dan peristiwa ringkas itu cubalah kita teliti betapa Rasulullah S.A.W telah menyempurnakan haji dengan pengorbanan Baginda bersama sahabat-sahabat yang berjalan dari Madinah Al-Munawwarah ke Makkah Al-Mukarramah selama 9 hari berbanding pada hari ini kita menaiki kapal terbang yang boleh sampai ke Tanah Suci kurang daripada 9 jam. Ini perkara yang perlu direnungkan apabila kita menghadapi sebarang kesusahan di tanah Suci kelak.